Rabu, 17 Januari 2018

Mengalihkan subsidi pupuk langsung ke petani

KENAPA BERAS IMPOR LEBIH MURAH DARIPADA BERAS LOKAL?
Pertanyaan itu sering timbul oleh petani karena beras impor tentu butuh biaya untuk transportasi. Pemerintah katanya mengimpor beras disebabkan kurang cadangan beras di Bulog. Padahal petani terus melakukan panen, dan Bulog tidak mampu menyerap hasil panen petani karena HPP yang rendah, sehingga petani lebih memilih menjual padinya ke pihak lain.
Jadi apa penyebab beras impor (dari Thailand dan Vietnam) lebih murah?
1. Kepemilikan lahan oleh petani di Vietnam rata-rata 2 ha per petani, sedangkan di Indonesia hanya 0,3 ha dan itupun banyak yang menjadi petani penggarap. Dengan lahan yang luas, tentu biaya produksi bisa ditekan. Jika lahan yang dikelola sedikit, biaya produksi tidak sebanding dengan hasil panen. Petani pun lebih suka menjual padi dalam bentuk GKP.
2. Pemakaian pupuk oleh petani Vietnam tidak sebanyak petani Indonesia dikarenakan kualitas pupuk disana yang lebih bagus. Pemakaian pupuk kimia yang berlebihan di Indonesia menyebabkan biaya produksi yang tinggi dan tingkat kesuburan tanah menjadi menurun.
 
Lalu bagaimana agar supaya produksi hasil pertanian petani Indonesia meningkat baik hasil maupun kesejahter4n p3tani s3rta harga yang terjangkau di masyarakat?
A.Menghapus subsidi pupuk
Kualitas pupuk subsidi dan non subsidi jelas berbeda walaupun kandungannya sama. Sepert urea subsidi 50 kg dengan 46% nitrogen tidak akan sama hasilnya untuk tanaman padi dibanding urea non subsidi yang 50 kg. Kalau diibaratkan kita makan mi instan, satu bungkus Indomie dengan satu bungkus Sarimie, dengan produsen yang sama, kenyangnya sama, tapi nikmatnya beda. Pupuk subsidi pun hanya dinikmati pengusaha dan pedagang, karena mereka lah yang disubsidi, namun harga dan kualitasnya tidak sesuai dengan harapan petani.
Subsidi pupuk bisa dialihkan dengan memberi insentif kepada petani dari setiap hasil panen dengan persyaratan tertentu. Seperti yang telah dilakukan di Sumatera Barat dimana setiap kilogram hasil panen produk organik yang telah bersertifikat organik mendapat insentif Rp 250,-. Namun disayangkan, produk tersebut masih dijual diatas harga produk konvensional sehingga produk organik yang laris itu tergolong ekslusif. Lain halnya dengan petani/poktan yang telah mendapatkan sertifikat Prima 3 dan PSAT, manfaat secara finansial belum didapat oleh petani.
Biaya produksi produk organik, Prima 3 dan PSAT tentu lebih murah dari konvensional dan juga lebih sehat. Produk Prima 3 dan PSAT dengan meminimalikan penggunaan pupuk kimia dan pestisida sedangkan organik yang tanpa kimia. Hal ini tentu dibutuhkan bahan alami atau kompos untuk meningkatkan hasil, peran petani dan peternak juga turut andil untuk kesuksesan hasil pertanian, karena awal dari pertanian merupakan akhir dari peternakan dan begitu pula sebaliknya.
Dengan menjual produk organik, Prima 3 dan PSAT sesuai harga pasar (sama dengan produk konvensional) atau dibatasi oleh HET, tentu masyarakat konsumen akan lebih memilih produk tersebut dibandingkan dengan konvensional. Disinilah subsidi pupuk tersebut dialihkan menjadi insentif bagi petani organik, prima3 ,PSAT atau apapun namanya nanti. Perlahan petani konvensional pun akan mulai meninggalkan pertanian konvensional.
Penghapusan subsidi pupuk memang ada pro dan kontra. Hal diatas itu adalah bagi yang setuju pupuk subsidi dihapus. Namun bagi yang ingin tetap ada subsidi, agar harga pupuk tersebut sampai ke petani dengan harga yang wajar serta sebanding dengan kualitasnya adalah dengan memotong rantai distribusi pupuk yang panjang. Pemerintah pun telah melakukannya terhadap beras dengan adanya TTI. Juga adanya HET bagi pestisida kimia yang bisa berubah kapan saja harganya. Hal seperti ini telah dilakukan Kementrian Kesehatan terhadap obat-obatan.
B. Pengolahan pasca panen oleh petani
Selama ini, petani selalu menjual hasil panennya khususnya padi dalam bentuk GKP. Panjangnya rantai dari padi menjadi beras hingga sampai ke tangnan konsumen menjadi salah satu sebab beras menjadi mahal.Jika petani melakukan sendiri atau dalam wadah Poktan/Gapoktan ataupun Koptan tentu nilai tambah yang didapat akan lebih banyak. Sesungguhnya menjadi petani memiliki resiko yang lebih tinggi karena kegagalan dalam budidaya cukup tinggi, sedangkan pasca panen cendrung kecil. Permasalahan ditingkat petani/poktan adalah ketidaktersedianya sarana dan pra sarana pengolahan pasca penen seperti RMU dan transportasi serta akses pasar.
Semua itu tergantung kepada kebijakan Pemerintah melalui Kementrian Pertanian dan juga Pemda masing-masing.
"Apakah selamanya petani akan selalu menjadi penyedia pangan murah bagi masyarakat, namun disisi lain kesejahteraan mereka seolah terabaikan!"
Salam Bangga jadi Petani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar