Ketika penyuluh pertanian di simpang jalan.
Keluarnya UU no
23/2016 dan PP no 18/2016, memunculkan asumsi bahwa penyuluh pertanian
akan kehilangan "rumah ", dan urusan kepegawaian mereka akan sulit.
Asumsi itu adalah salah, hanya penyederhanaan Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD) saja dari Badan Penyuluhan ke Dinas pertanian.
Begitu juga dengan Balai Penyuluh Pertanian (BPP) yang selama ini
berada dibawah badan pelaksana penyuluhan kabupaten, berubah menjadi
Unit pelaksana teknis Dinas (UPTD).
Disaat penyuluh perikanan dan penyuluh kehutanan ditarik ke pusat dan
provinsi, penyuluh pertanian tetap menjadi wewenang pemerintah daerah.
Namun, perbedaan pandangan tentang pentingnya peran penyuluh pertanian
bagi pemda, membuat penyuluh pertanian seolah merasa terabaikan. PP no
18/2016 secara substansi sebenarnya tidak berpengaruh terhadap kinerja
para pertanian, karena tugas dan fungsi penyuluh pertanian di semua
daerah tetap terjaga seperti pada UU no 16/2016 yaitu sebagai pendamping
dan pembina petani.
Hanya saja, jika pemda memiliki kelembaban
penyuluh yang berdiri sendiri, akan lebih memudahkan koordinasi dalam
pelaksanaan tugas mereka. Jika melihat di lapangan, penyuluh merasa
"lebih nyaman " jika memiliki wadah tersendiri.
Namun, dimana pun
penyuluh itu bernaung, tugas dan fungsi mereka tidak akan berubah, dan
tugas kepenyuluhan itu tidak tergantung kepada lembaga yang menaungi
mereka tapi lebih kepada peran dan fungsi mereka untuk tercapainya
peningkatan kesejahteraan petani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar